Mohon lakukan pemesanan via Tokopedia, karena order via Web tidak aktif.
Tidak ada produk
Generasi muda kini mungkin tak lagi tahu, Hoegeng yang dimaksud Presiden Abdurrahman Wahid dalam kata-katanya di atas adalah almarhum Jenderal (Pol.) Hoegeng Iman Santoso, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) di zaman transisi Orde Lama menuju Orde Baru. Sebagai polisi, Hoegeng dikenal jujur, sederhana, dan tak kenal kompromi. Karenanya, seperti polisi tidur, ia tak bisa disuap.
Namun, bagaimana kiprah Hoegeng ketika ia dipercaya Presiden Soekarno menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet dan Menteri Iuran Negara, serta Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia pada periode tahun 1961-1966?
Buku ini tak hanya menuturkan keteladanan Hoegeng sebagai polisi dan birokrat. Juga ada kisah hubungan Hoegeng dan Soedharto Martopoespito yang berakhir tragis. Cengkeraman kekuasaan Orde Baru memutuskan hubungan akrab di antara keduanya. Setelah Hoegeng bergabung dengan kelompok Petisi 50, sebagai PNS di kantor Menko Polkam, Dharto tak pernah berani lagi berhubungan secara pribadi dengan mantan atasannya itu.
Ditulis oleh Suhartono, wartawan harian Kompas berdasarkan kisah Soedharto Martopoespito, mantan sekretaris Hoegeng.
---
BEBERAPA KISAH HOEGENG
Tolak Mobil dan Motor
Selaku pejabat tentu Jenderal Hoegeng banyak yang mendekati. Bermacam-macam cara untuk merebut hati Hoegeng. Ada yang mengirim hadiah mobil hingga motor. Tapi hadiah yang dikirimkan pengusaha itu dia tolak.
Hoegeng yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Presidium tak mengambil hadiah itu. Menurut Sudharto atau Dharto sekretarisnya, Hoegeng hanya menyimpan dan melupakan surat pengambilan mobil itu.
Demikian juga kala menjabat Kapolri. Diceritakan Didit, anak lelaki Hoegeng. Saat dia pulang ke rumah, ada dua buah motor yang masih dibungkus di halaman rumah. Didit sempat berharap, sang ayah mau menerima hadiah itu.
Tapi Hoegeng tetaplah seorang Hoegeng. Kala dia sampai di rumah, dia memanggil ajudannya dan meminta agar motor itu dikembalikan kepada yang mengirimkan. "Ini masih jam 16.00, masih ada orang di kantornya. Motor ini dikembalikan lagi ke pengirimnya," jelas Didit menirukan ucapan ayahnya kepada ajudannya.
Tak Mau Dibayari Makan
Jenderal Hoegeng memang pantas diacungi jempol. Bayangkan saat menjabat sebagai Kapolri di era 1966-1971 dia menolak gratifikasi untuk urusan yang kecil. Hoegeng marah besar kala ada yang membayarinya makan di restoran.
Hoegeng meninggal dunia pada 2004 lalu. Namun aksi dia terus menjadi legenda. Gus Dur bahkan menyebutnya polisi yang tak bisa disuap.
Berdasarkan pengakuan putra Hoegoeng, Didit, Hoegeng tak pernah mau makan di restoran. Ternyata awal mulanya karena ada yang membayari Hoegeng makan di restoran. Saat itu Hoegeng dan keluarga dalam perjalanan ke Bandung, dan mampir ke sebuah restoran. Nah, saat membayar itu sang kasir menolak menerima uang bayaran, karena sudah ada yang traktir. "Papi marah besar, tetapi orang yang membayar sudah tak ada lagi. Sejak itu, Papi tak mau lagi makan di restoran mana pun," ujar Didit.
Tak hanya itu saja, Didit juga bertutur, ayahnya marah saat mobil dinas Polri dipakai olehnya. Hoegeng merasa bersalah kalau kendaraan dinas dipakai untuk urusan pribadi. "Meskipun pelat nomornya bukan pelat dinas ayahmu, tetapi mobilnya adalah mobil dinas Polri. Polisi di jalan itu tahu itu mobil siapa," urai Didit menirukan ucapan ayahnya.
Terbit | 2013 |
Halaman | 142 |
Jenis Cover | Soft Cover |
Penulis | Suhartono |
Penerbit | Kompas |
Ukuran | 14cm x 21cm |
Bahasa | Indonesia |
ISBN | 978-979-7097-69-1 |
Kondisi Buku | Buku Baru Stok Lama (100% Baru) |
Belum ada komentar.
Silakan order via Tokopedia
Tuhor.com berlokasi di Jakarta merupakan toko online yang menjual buku-buku pilihan (personally selected books).